Senin, 04 Juli 2016

Persiapan hari raya IED fitri,Daulah khilafah islamiyah

Daulah khilafah islamiyah
Wilayah al Furat

Persiapan hari raya IED fitri









Minggu, 03 Juli 2016

Ternyata MMS adalah penipu


Salah satu pembicaraan oleh Ihsanul Faruqi yang sempat terekam oleh anshor daulah yang saat ini account tersebut sudah terhapus

Dan sungguh ini adalah hujjah bahwa mereka bersekutu dengan densus,demi Allah dimana al wala dan wal bara mereka?dimana Tauhid mereka?

Mereka membagi hasil sedekah mengatas namakan MMS kepada thogut densus,sungguh mereka adalah MMS=Misa Maling Syria

Tidaklah mereka ketahui bahwa thogut densus laknatullah alaih membunuh banyak muslimin dengan tuduhan terrorisme padahal tidak ada bukti

Sedangkan mereka malah memberikan tambahan kepada thogut densus

Wahai kaum muslimin sadarlah,bahwa mereka MMS adalah Misi Maling Syria.berhentilah bantu mereka

Lihatlah bagaimana orang orang yang mereka bantu



Adalah anak anak FSA,dimana FSA rela berperang bersama Amerika memerangi daulah islam,bahkan anak anak mereka tidak dicegah dari hal haram merokok

Berhentilah membantu mereka

Dan jika antum wahai kaum muslimin tetap ingin membantu muslim,maka pergilah ke Syria dan perangi kaum kafir(Amerika dan Rusia) bersama antek antek khawariz mereka(FSA,Jaish al Islam,Ahrar as syam,dll)

Jika antum tidak berani berJihad,bantulah dengan harta,yaitu
 bantulah kaum muslimin di dizalimi densus laknatullah,yaitu keluarga syuhada yang keluargannya dibunuh densus

Bantulah melalui Gashibu(Gerakan sehari seribu) untuk membantu keluarga syuhada yang keluarga mereka dizalimi densus
https://www.facebook.com/GASHIBU-1103934836347192/

atau melalui program keluarga syuhada yang di kelola ADC
http://manjanik.net/featured/adc-salurkan-dana-santunan-kepada-keluarga-syuhada-masjunin-nusakambangan/#

ataupun IDC
 http://www.infaqdakwahcenter.com/m/news/175/raih-puncak-ketinggian-islam-mari-dukung-program-solidaritas-keluarga-mujahidin/

 Al Madi Media


Sabtu, 02 Juli 2016

Pendapat Para Imam Mazhab tentang Perizinan Berangkat Jihad

Ya ikhwan Takutlah kalian kepada Allah.

        Jika engkau melihat seorang pemuda yang berumur 30 tahun, ia bergelar Doktor dalam bidang fikih Islam. Ia dalam keadaan sehat dan muqim (berada di rumah, tidak bepergian), dapat menghancurkan dan membangun gunung, namun ia tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Lalu engkau datang kepadanya dan bertanya: Apa hukumnya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Dia sendiri tidak puasa, apa yang akan ia katakan kepadamu?! Dia akan menyampaikan ribuan alasan kepadamu, dan akan memberikan keringanan kepadamu untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Karena dia sendiri tidak berpuasa. Apakah engkau bertanya tentang puasa Ramadhan kepada orang yang tidak berpuasa Ramadhan?! Apakah angkau akan bertanya tentang hukum sholat kepada orang yang tidak sholat?! Dan apakah engkau akan bertanya tentang zakat kepada orang yang tidak mau membayar zakat?! .. ini tidak masuk akal .. ini jelas-jelas analogi yang sangat rusak … sangat aneh: Seseorang berpangku tangan di dalam rumahnya .. memiliki mobil mewah sepanjang 3 meter .. atau lebih .. lebih dari 3 meter .. panjangnya (Chevrolet), pada hari ini mereka tidak mau naik kecuali Mercedes. Dan jika kalian masuk ke dalam rumahnya, maka kalian akan bingung apakah berada di dalam surga atau di dunia lantaran saking banyaknya perabotannya dan kasurnya yang empuk di dalamnya.

Ada seseorang mengatakan kepadaku: “Sesungguhnya ada beberapa rumah yang mana apabila ada orang yang masuk ke dalamnya pasti ia akan mengatakan: Jika surga itu seperti ini tentu kita mendapatkan kenikmatan yang sangat besar. Orang yang seperti ini engkau datangi dan engkau tanyai tentang jihad?! .. katakanlah padanya: Wahai Syaikh tinggalkanlah pekerjaanmu!”

Datanglah ke pegunungan Afghanistan dan engkau akan mendapatkan pelatihan dari Abu Burhan!.. tidak masuk akal, dia tidak dapat dipercaya. Artinya; pertama secara akal tidak dapat diterima. Baik menurutmu atau menurutnya. Seandainya engkau berakal tentu engkau tidak akan bertanya kepadanya tentang jihad .. kenapa?! Karena jihad itu menurutnya adalah meletakkan telepon di sisinya, lalu orang bertanya kepadanya: “Apa hukum memasukkan jarum suntik pada bulan Ramadhan? Pada urat atau otot?! Jika pada otot tidak membatalkan puasa, namun jika pada urat membatalkan puasa!!”

Orang-orang bertanya kepadanya: “Apa hukum bercelak pada bulan Ramadhan?! .. “Ya, bercelak boleh, karena Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam bercelak.”

Inilah jihad bagi dia..! Orang semacam ini engkau inginkan untuk memakai sepatu bot atau memakai baju yang kumal sepertimu, kemudian mondar-mandir di Joji, menantang kematian. Setelah itu berjalan selama 45 hari melintasi Badakhsyan di atas salju. Orang-orang Syi’ah akan menghadangnya, orang-orang kafir akan menghadangnya, dan lain-lain .. Ini tidak pernah terlintas sama sekali di dalam benaknya, ia belum pernah membayangkan ini sama sekali.

Maka jika engkau bertanya kepadanya ia akan membolehkanmu untuk tidak berangkat berjihad, ia akan menerangkan dan menjelaskan bahwasanya engkau lebih baik duduk di negerimu daripada berangkat berjihad!

Haram meminta fatwa kepada Syaikh yang belum pernah ke medan jihad , karena ribuan pemuda yang menunggu jawaban. Tidak boleh meminta fatwa dari orang yang tidak memiliki ilmu (jahil). Dan tidak boleh meminta fatwa kepada para Ulama yang tidak memiliki pengalaman, tidak mengerti kondisi jihad, dan tidak ada yang mengerti kondisi jihad kecuali orang yang terjun dalam dunia jihad.

Percayalah kepadaku wahai Ikhwan: Sekarang saya (Syaikh Abdullah Azzam) sudah enam tahun di sini, dan saya kira saya adalah termasuk orang-orang Arab yang paling mengetahui kondisi jihad dan pernik-perniknya, para pemimpinnya dan pasukannya. Setiap hari saya mendapatkan pengetahuan baru tentang jihad di Afghanistan, lalu membuat perencanaan baru dalam mengoperasikan jihad Afghanistan, dan apa-apa yang dibutuhkan dalam jihad Afghanistan? Dan apa yang kami persembahkan untuknya setiap hari?

Syaikh Abdulla Azzam menggunakan istilah “ad-difau ‘an arodhil muslimin yang artinya membela mempertahankan tanahnya orang-orang Islam adalah fadhu ‘ain yang tinggi nilainya. Hal itu berlaku sejak runtuhnya Granada atau Andalusia pada abad 15, dan sejak saat itu jihad menjadi fardhu ‘ain.

Hanafiyah

1. Al Kasani berkata dalam Bada-i’ Ash Shana-i’(7/98): “Adapun jika nafir telah menjadi umum dikarenakan musuh menyerang negeri, maka hukumnya berubah menjadi fardhu ‘ain atas setiap individu dari kaum muslimin yang mampu berdasarkan kalam Allah Ta’ala:

انفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat. (QS At Taubah 41)
Dikatakan bahwa ayat tersebut diturunkan dalam konteks nafir (berjihad -ed).
Karena kewajiban bagi semua manusia sebelum adanya keumuman tentang nafir, menjadi sesuatu yang tetep. Dengan adanya sekelompok orang yang melakoni, maka sebagian kewajiban menjadi dianulir bagi yang lainnya. Lalu apabila nafir telah menjadi umum, maka seluruhnya pun wajib untuk merealisasikannya. Dengan demikian, nafir menjadi kewajiban fardhu ‘ain untuk semuanya, tak ubahnya shaum dan shalat. Maka seorang hamba keluar berperang tanpa izin tuannya, dan seorang istri tanpa izin suaminya. Karena manfaat yang didapat dari seorang hamba dan istri dikecualikan dari kekuasaan tuan dan suami secara syar’i ketika melaksanakan ibadah-ibadah fardhu ‘ain seperti shaum dan shalat. Demikian juga diperbolehkan bagi seorang anak untuk keluar berperang tanpa izin kedua orang tuanya, karena hak kedua orang tua tidak tampak dalam kewajiban fardhu ‘ain seperti shaum dan shalat. Wallahu ta’ala a’lam.” Selesai dengan diringkas.
2. Az Zaila’i dalam Tabyin Al Haqa-iq Syarh Kanz Al Daqa-iq (3/241): “Demikian juga seorang anak keluar berperang tanpa izin kedua orang tuanya, sedangkan selain dalam nafir ‘am dia harus mendapat izin keduanya”.

Malikiyah
1. Di dalam An Nawadir wa Az Ziyadat (3/24) dinukil dari Imam Malik: “Adapun dalam nafir aam menghadai musuh yang menyerang maka seorang anak boleh keluar tanpa izin kedua orang tuanya. Karena ini adalah sebuah kewajiban, sedangkan kewajiban mentaati keduanya itu dalam hal nafilah”.
2. Al Qadhi ‘Abdul Wahhab berkata di Al Mu’awwanah (1/602): “Siapa saja yang kedua orang tuanya melarangnya berjihad maka hendaknya ia mematuhi keduanya. Kecuali jika kewajiban itu menjadi fardhu ‘ain atasnya seperti misalnya ketika musuh tiba-tiba menyerbu negerinya dan dia dibutuhkan untuk membela negerinya. Demikian juga ketika ia mewajibkan bagi dirinya sendiri untuk berjihad pada suatu waktu. Yang demikian itu karena ketaatan kepada keduanya adalah fardhu ‘ain yang lebih utama daripada fardhu kifayah. Adapun jika fardhu kifayah itu berubah menjadi fardhu ‘ain maka dia tidak boleh mematuhi larangan kedua orang tuanya, karena pada dasarnya keduanya tidak boleh melarangnya sebagaimana keduanya tidak boleh melarangnya untuk melaksanakan shalat dan shaum”. Selesai secara ringkas

3. Ibnu Rusyd berkata di dalam Al Muqaddamat wa Al Mumahhadat (1/351): “Seorang anak tidak boleh berjihad tanpa izin orang tuanya, dan seorang hamba tidak boleh berjihad tanpa izin tuannya. Ini semua dalam nafilah (jihad fardhu kifayah -ed). Adapun dalam kewajiban yang fardhu ‘ain maka dia harus berperang sekalipun orang tuanya tidak mengizinkan. Karena dia harus mentaati orang tuanya jika keduanya melarangnya untuk melaksanakan suatu nafilah bukan dalam perkara yang wajib atasnya”.
4. Al Qurthubi berkata dalam tafsirnya: “Ada beberapa keadaan yang mengharuskan semua orang untuk nafir, yaitu yang keempat. Yaitu jika jihad menjadi fardhu ‘ain dikarenakan musuh merebut suatu daerah atau menguasai ibukota. Maka wajib bagi setiap penduduk negeri tersebut untuk keluar berjihad baik dalam keadaan lapang ataupun sempit, tua atau muda, baik dia mempunyai orang tua ataupun tanpa izin orang tuanya. Tidak boleh ada yang tertinggal. Semua sesuai kemampuannya, baik dia petempur atau hanya memperbanyak jumlah”.
5. Di dalam Al Fawaqih Ad Dawani Syarh Risalah Al Qairuwani (1/406): “Dikarenakan taat kepada kedua orang tua adalah fardhu ‘ain beliau berkata:

(وَلَا بُغْزَى)

Dengan bina lil majhul (maksudnya fa’il dari fi’il tersebut dihapus -ed), maksudnya si anak tidak boleh berjihad

(بِغَيْرِ إِذْنِ الأَبَوَبْنِ) tanpa izin kedua orang tua

Maksudnya yang dekat, jadi bukan kakek dan nenek. Karena hukum asal berjihad adalah fardhu kifayah, sedangkan taat kepada kedua orang tua adalah fardhu ‘ain.
Kemudian pensyarah berkata: Dikarenakan larangan berperang tanpa izin orang tua itu pada jihad fardhu kifayah maka beliau berkata:

(إِِلَّا أَنْ يَفْجَأَ الْعَدُوُّ) kecuali jika musuh menyerang tiba-tiba

Maksudnya tanpa menginvasi suatu negeri (sekedar berkumpul di luar tapal batas -ed)

مَدِيْنَةَ قَوْمٍ وَيَغِيْرُوْنَ عَلَيْهِمْ فَفَرَضَ عَلَيْهِمْ) negeri suatu kaum dan menyerbu mereka, maka wajib atas mereka

Yaitu wajib atas seluruh penduduk kota tersebut

(دَفْعَهُمْ) menghentikannya

Yaitu musuh tersebut
Dan tidak wajib meminta izin kepada kedua orang tua dalam keadaan yang seperti ini, tidak pula para suami dan tuan-tuan”. Selesai secara ringkas.

6. Di dalam Taj Al Iklil Syarkh Mukhtashar Khalil(4/541): “Sahnun berkata: “Saya amat suka kepada seorang anak yang mempunyai orang tua untuk meminta izin kepadanya jika pergi berjihad. Kecuali jika musuh telah sampai pada suatu tempat sedangkan tidak cukup personel untuk menghentikannya. Maka ketika itu dia boleh pergi berjihad tanpa izin keduanya. Sekalipun medan pertempuran itu jauh dari negerinya namun tidak ada yang mampu menghadang musuh atau bala bantuan masih jauh, maka ketika itu dia boleh pergi tanpa izin kedua orang tuanya”.

Syafi’iyah

1. Asy Syairazi berkata di dalam Al Muhadzzab (3/270): “Jika musuh menguasai mereka maka kewajiban jihad menjadi fardhu ‘ain atas mereka. Seseorang boleh keluar tanpa izin pemberi hutang atau orang tuanya. Karena jika dalam keadaan seperti itu jihad ditinggalkan maka semuanya akan binasa, sehingga jihad didahulukan daripada hak pemberi utang dan orang tua”.
2. An Nawawi menyebutkan di dalam Raudhah Ath Thalibin (10/214) macam-macam jihad: “Yang kedua; yaitu jihad fardhu ‘ain. Yaitu jika orang kafir menginjak tanah negeri kaum muslimin, atau mendominasinya, atau mendekati gerbangnya walaupun tidak menyerbu masuk. Maka pada saat itu jihad menjadi fardhu ‘ain dengan rincian yang akan kami jelaskan, insya Allah. Menurut Ibnu Abi Hurarirah, dalam kondisi tersebut jihad tetap fardhu kifayah. Akan tetapi yang betul adalah yang pertama (fardhu ‘ain -ed). Maka setiap penduduk negeri itu wajib membendung serbuan musuh dengan segala cara yang mereka mampu”.
Kemudian beliau berkata: “Pada macam ini tidak perlu meminta izin orang tua atau pemberi utang”. Selesai secara ringkas.

Hanabilah

1. Di dalam Al Mughni (9/209): “Jika telah wajib atasnya jihad maka izin orang tua tidak diperlukan. Karena jihad telah menjadi fardhu ‘ain dan meninggalkannya berarti maksiat. Tidak ada ketaatan kepada siapapun dalam bermaksiat kepada Allah”.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa Al Kubro (4/609) berkata: “Jika musuh menginvasi negeri-negeri islam tidak diragukan lagi penduduk yang terdekat dengannya harus membendung serbuan itu. Karena negeri-negeri islam kedudukannya adalah laksana satu negeri. Wajib keluar berjihad tanpa harus meminta izin orang tua atau pemberi hutang. Perkataan Imam Ahmad jelas dalam hal itu”.

Al Madi Media