Minggu, 23 Desember 2012

SEMANGAT ZAID BIN TSABIT DALAM MENUNTUT ILMU

Ketika berada di tahun 2 Hijriyah. Kota Madinah sedang bersiap untuk menghadapi perang Badar. Untuk yang terakhir kali, Rasulullah memeriksa pasukan yang akan menyertai beliau berjihad fi sabilillah dan mengokohkan Kalimah-Nya di muka bumi.

Datanglah seorang pemuda kecil berusia 13 tahun. Dia tampak cerdas, penuh semangat, dan fanatik. Di tangannya tergenggam pedang yang hampir sama tinggi dengan tubuhnya. Langsung saja dia menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Aku siap berkorban untuk diri Anda, ya Rasulullah. Izinkan aku ikut berjihad di bawah komando Anda.”

Rasulullah memandangi pemuda kecil itu. Diam-diam beliau merasa kagum bercampur gembira. Diraihnya bahu anak itu, ditepuk dengan penuh kasih sayang, sambil dihiburnya, mengingat dia harus dikembalikan karena masih terlalu muda.

Bocah itu pulang sambil menyeret pedangnya. Wajahnya murung karena tak mendapat kehormatan menyertai Rasulullah dalam perangnya yang pertama.

Sang ibu, Nuwar binti Malik, menyusul di belakangnya. Tak kurang kesedihannya daripada putranya. Ingin sekali dia melihat putranya berangkat sebagai mujahid bersama kaum lelaki yang lain di bawah panji-panji Rasulullah. Ingin sekali dia menyaksikan putranya mengantikan kedudukan ayahnya yang telah tiada.

Bocah itu adalah: Zaid bin Tsabit.

Merasa gagal mendekati Rasulullah melalui perang, Zaid bin Tsabit memutar otak. Jalan mana yang bisa mendekatkannya dengan Rasulullah tanpa dikaitkan dengan faktor usia? Rasanya adalah jalan ilmu dan hafalan Al-Qur'an!

Selang beberapa waktu kemudian, Nuwar binti Malik menyampaikan hasrat Zaid bin Tsabit kepada tokoh-tokoh kaumnya. Mereka kemudian menghadap Rasulullah seraya berkata, “Wahai Nabiyullah, putra kami, Zaid bin Tsabit, hafal surat ini dan surat itu dari Kitabullah. Dia mampu membacanya dengan fasih sebagaimana waktu diturunkan ke dalam kalbu Anda. Di samping itu, dia juga pintar membaca dan menulis. Dia ingin mendekatkan diri kepada Anda dari jalan ini. Bolehlah Anda uji dia kalau berkenan….”

Rasulullah mendengarkan bacaan Zaid bin Tsabit tentang sebagian ayat yang dia hafal. Ternyata memang benar. Bacaan anak itu tepat sekali. Mantiq-nya (kaidah bahasanya) jelas, dan Kalimatullah tampak gemerlapan di lidahnya, sejelas pantulan bintang-bintang di permukaan telaga.

Rasulullah amat gembira karenanya. Apalagi setelah membuktikan kecekatannya dalam menulis. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit bahwa:

Rasulullah SAW berkata kepadanya "Aku berkirim surat kepada orang, dan aku khawatir, mereka akan menambah atau mengurangi surat-suratku itu, maka pelajarilah bahasa Suryani", kemudian aku mempelajarinya selama 17 hari, dan bahasa Ibrani selama 15 hari.

Akhirnya, Zaid bin Tsabit berhasil menjadi penerjamah dan sekretaris Rasulullah!

Di kemudian hari pada zaman kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, Zaid bin Tsabit adalah salah seorang yang diamanahkan untuk mengumpulkan dan menuliskan kembali Al-Quran dalam satu mushaf.

Dalam perang Al-Yamamah banyak penghafal Al-Quran yang gugur, sehingga membuat Umar bin Khattab cemas dan mengusulkan kepada Abu Bakar untuk menghimpun Al-Quran sebelum para penghafal lainnya gugur. Mereka kemudian memanggil Zaid bin Tsabit dan Abu Bakar mengatakan kepadanya:
"Anda adalah seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukanmu".

Zaid melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh dan pengan pengorbanan yang tidak sedikit. Hingga hasil kerjanya mendapat persetujuan dari para sahabat yang telah mendengarkan Al-Qur’an langsung dari Nabi semasa hidupnya.

Kesulitan mengerjakan tugas yang mulia dan agung ini digambarkan Zaid dengan berkata ,“Demi Allah , seandainya mereka memintaku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, itu lebih mudah bagiku daripada menghimpun Al-Qur’an.”

Dalam usaha pengumpulan Al-Qur'an Zaid bin Tsabit telah mengambil langkah yang tepat, teliti dan mantap. Langkah tersebut adalah suatu jaminan (yang pantas) dalam penulisan Al-Qur'an dengan mantap dan penuh ketelitian.

Zaid bin Tsabit tidak menganggap cukup menurut yang dihafal dalam hati dan yang ditulis dengan tangannya serta hasil pendengaran, tetapi ia bertitik-tolak pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber:
1. Sumber hafalan yang tersimpan dalam hati para sahabat; dan
2. Sumber tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.

Dua hal tersebut yaitu hafalan dan tulisan harus terpenuhi. Karena sangat bersungguh-sungguh dan berhati-hatinya ia tidak menerima data berupa tulisan sebelum disaksikan oleh dua orang yang adil bahwa tulisan tersebut ditulis di hadapan Rasulullah SAW.

Ibnu Hajar mengatakan: "Yang dimaksud dengan dua orang saksi adalah hafalan dan tulisan, sedangkan as-Sakhawy mengatakan bahwa yang dimaksud, adalah mereka berdua menyaksikan tulisan tersebut di hadapan Rasulullah SAW itu karena benar-benarnya usaha pemantapan, ketelitian dan kesungguhan yang digariskan oleb Abu Bakar Shiddiq kepada Zaid bin Tsabit.

Subhanallah, Semangat membaja itu berbuah dan digunakan hingga akhir zaman!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar