Ketika berada di tahun 2 Hijriyah. Kota
Madinah sedang bersiap untuk menghadapi perang Badar. Untuk yang
terakhir kali, Rasulullah memeriksa pasukan yang akan menyertai beliau
berjihad fi sabilillah dan mengokohkan Kalimah-Nya di muka bumi.
Datanglah seorang pemuda kecil berusia 13 tahun. Dia tampak cerdas,
penuh semangat, dan fanatik. Di tangannya tergenggam pedang yang hampir
sama tinggi dengan tubuhnya. Langsung saja dia menghampiri Rasulullah
seraya berkata, “Aku siap berkorban untuk diri Anda, ya Rasulullah.
Izinkan aku ikut berjihad di bawah komando Anda.”
Rasulullah
memandangi pemuda kecil itu. Diam-diam beliau merasa kagum bercampur
gembira. Diraihnya bahu anak itu, ditepuk dengan penuh kasih sayang,
sambil dihiburnya, mengingat dia harus dikembalikan karena masih terlalu
muda.
Bocah itu pulang sambil menyeret pedangnya. Wajahnya
murung karena tak mendapat kehormatan menyertai Rasulullah dalam
perangnya yang pertama.
Sang ibu, Nuwar binti Malik, menyusul
di belakangnya. Tak kurang kesedihannya daripada putranya. Ingin sekali
dia melihat putranya berangkat sebagai mujahid bersama kaum lelaki yang
lain di bawah panji-panji Rasulullah. Ingin sekali dia menyaksikan
putranya mengantikan kedudukan ayahnya yang telah tiada.
Bocah itu adalah: Zaid bin Tsabit.
Merasa gagal mendekati Rasulullah melalui perang, Zaid bin Tsabit
memutar otak. Jalan mana yang bisa mendekatkannya dengan Rasulullah
tanpa dikaitkan dengan faktor usia? Rasanya adalah jalan ilmu dan
hafalan Al-Qur'an!
Selang beberapa waktu kemudian, Nuwar binti
Malik menyampaikan hasrat Zaid bin Tsabit kepada tokoh-tokoh kaumnya.
Mereka kemudian menghadap Rasulullah seraya berkata, “Wahai Nabiyullah,
putra kami, Zaid bin Tsabit, hafal surat ini dan surat itu dari
Kitabullah. Dia mampu membacanya dengan fasih sebagaimana waktu
diturunkan ke dalam kalbu Anda. Di samping itu, dia juga pintar membaca
dan menulis. Dia ingin mendekatkan diri kepada Anda dari jalan ini.
Bolehlah Anda uji dia kalau berkenan….”
Rasulullah
mendengarkan bacaan Zaid bin Tsabit tentang sebagian ayat yang dia
hafal. Ternyata memang benar. Bacaan anak itu tepat sekali. Mantiq-nya
(kaidah bahasanya) jelas, dan Kalimatullah tampak gemerlapan di
lidahnya, sejelas pantulan bintang-bintang di permukaan telaga.
Rasulullah amat gembira karenanya. Apalagi setelah membuktikan
kecekatannya dalam menulis. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit bahwa:
Rasulullah SAW berkata kepadanya "Aku berkirim surat kepada orang, dan
aku khawatir, mereka akan menambah atau mengurangi surat-suratku itu,
maka pelajarilah bahasa Suryani", kemudian aku mempelajarinya selama 17
hari, dan bahasa Ibrani selama 15 hari.
Akhirnya, Zaid bin Tsabit berhasil menjadi penerjamah dan sekretaris Rasulullah!
Di kemudian hari pada zaman kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, Zaid bin
Tsabit adalah salah seorang yang diamanahkan untuk mengumpulkan dan
menuliskan kembali Al-Quran dalam satu mushaf.
Dalam perang
Al-Yamamah banyak penghafal Al-Quran yang gugur, sehingga membuat Umar
bin Khattab cemas dan mengusulkan kepada Abu Bakar untuk menghimpun
Al-Quran sebelum para penghafal lainnya gugur. Mereka kemudian memanggil
Zaid bin Tsabit dan Abu Bakar mengatakan kepadanya:
"Anda adalah seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukanmu".
Zaid melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh dan pengan pengorbanan
yang tidak sedikit. Hingga hasil kerjanya mendapat persetujuan dari para
sahabat yang telah mendengarkan Al-Qur’an langsung dari Nabi semasa
hidupnya.
Kesulitan mengerjakan tugas yang mulia dan agung ini
digambarkan Zaid dengan berkata ,“Demi Allah , seandainya mereka
memintaku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, itu lebih mudah
bagiku daripada menghimpun Al-Qur’an.”
Dalam usaha pengumpulan
Al-Qur'an Zaid bin Tsabit telah mengambil langkah yang tepat, teliti
dan mantap. Langkah tersebut adalah suatu jaminan (yang pantas) dalam
penulisan Al-Qur'an dengan mantap dan penuh ketelitian.
Zaid
bin Tsabit tidak menganggap cukup menurut yang dihafal dalam hati dan
yang ditulis dengan tangannya serta hasil pendengaran, tetapi ia
bertitik-tolak pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber:
1. Sumber hafalan yang tersimpan dalam hati para sahabat; dan
2. Sumber tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.
Dua hal tersebut yaitu hafalan dan tulisan harus terpenuhi. Karena
sangat bersungguh-sungguh dan berhati-hatinya ia tidak menerima data
berupa tulisan sebelum disaksikan oleh dua orang yang adil bahwa tulisan
tersebut ditulis di hadapan Rasulullah SAW.
Ibnu Hajar
mengatakan: "Yang dimaksud dengan dua orang saksi adalah hafalan dan
tulisan, sedangkan as-Sakhawy mengatakan bahwa yang dimaksud, adalah
mereka berdua menyaksikan tulisan tersebut di hadapan Rasulullah SAW itu
karena benar-benarnya usaha pemantapan, ketelitian dan kesungguhan yang
digariskan oleb Abu Bakar Shiddiq kepada Zaid bin Tsabit.
Subhanallah, Semangat membaja itu berbuah dan digunakan hingga akhir zaman!
Minggu, 23 Desember 2012
link bermanfaat
- Al Khayr Mereka Menyihir Mata Manusia dan Menakut nakuti Mereka
- Gaza training camp 3GP
- Gaza training camp HD
- ISIS mengambil harta kaum muslimin
- Idul Fitri muhajirin indonesia di ISIS
- Jihad Tarbiyah --syaikh anwar al awlaki--
- Membakar bom Cluster yang tidak meledak
- Nasheed ya jundullah
- Negeri magrib islam,si pembangkang baru
- Penegakan hudud oleh ISIS
- Pertolongan Allah dekat 4
- Qisas terhadap jasus oleh anak jihadi john
- Rilisan setelah penyerangan di Brussels
- Video amerika is losing
- [Diljah] ini janji Allah
- [Khurasan] kuburan murtadin
- dari Sayna syam kepada saudara kami
- dewan dakwah dan masjid
- kejahatan ISIS terhadap suku suku di Iraq
- kitab silsilah dhaif syaikh albani
- para penghancur tirani 2
- peperangan syaikg abu mughirah alqahtani
- teguh pantang mundur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar